Thursday, March 25, 2010

Reason....

Benernya gue kaga kenal 2 orang ini, tapi cerita hidup nya membuat inspirasi bagi banyak orang untuk selalu berusaha, pantang menyerah, memberikan cinta tanpa syarat sebagai perjuangan menjalankan hidup. Cobaan dan ujian selalu datang namun dengan segala upaya mereka berdua terus mencoba dan menghadapi dengan tegar.

Yang tidak disangka-sangka dalam perjuangan yang mereka jalani, pada awal Maret ini suami yang telah menemani, memberikan support mendadak dipanggil oleh Yang Maha Kuasa justru ketika istrinya dinyatakan sembuh oleh dokter. Tragis?? mungkin tidak karena mungkin saja ini adalah cara Tuhan untuk memberikan kesembuhan, semangat menjalani hidup kembali melalui kedatangan suami nya.

Cara Tuhan sungguh unik dan rahasia, banyak alasan yang kita tidak pernah mengerti sampai kita mengalaminya.

When someone is in your life for a REASON


It is usually to meet a need you have expressed outwardly or inwardly. They have come to assist you through a difficulty, to provide you with guidance and support, to aid you physically, emotionally, or spiritually.

They may seem like a godsend, and they are. They are there for the reason you need them to be. Then, without any wrong doing on your part or at an inconvenient time this person will say or do something to bring the relationship to an end.

Sometimes they die. Sometimes they walk away. Sometimes they act up or out and force you to take a stand.

What we must realize is that our need has been met, our desire fulfilled, their work is done. The prayer you sent up has been answered and it is now time to move on.

Ini adalah artikel yang sempet gue baca di salah satu web mengenai kedua orang ini.

Melihat Dinda Nawangwulan (33) yang ceria dan terlihat begitu positif menatap hidup, rasanya takkan ada yang percaya bahwa di usianya yang masih muda, hidupnya sudah sarat liku dan cobaan. Wanita kelahiran 12 Oktober 1975 ini divonis kanker payudara hingga payudaranya harus diangkat. Baru saja bernapas lega karena dinyatakan bebas dari kanker payudara, cobaan kedua diterimanya. Ia divonis menderita kanker kelenjar getah bening, sehingga ia harus bolak-balik Jakarta-Singapura untuk menjalani 8 kali kemoterapi yang melelahkan, 21 kali diinfus kemoterapi, dan mengonsumsi obat kanker tanpa jeda selama 5 tahun.

Fantastisnya, ia menganggap cobaan yang menimpanya adalah berkah dan bukti rasa sayang Tuhan yang berlebih kepadanya.

Berikut ini penuturan Dinda mengenai penyakit berat yang menimpa dirinya. Ia bertutur dengan santai dan tanpa beban.

DI ANTARA DUA PILIHAN SULIT

Pertengahan 2006, untuk pertama kalinya saya merasakan ada yang aneh di payudara saya. Ada benjolan berukuran seujung kelingking, dan rasanya keras bila disentuh. Seminggu, dua minggu, sampai dua bulan, benjolan ini tak kunjung hilang. Akhirnya saya putuskan memeriksakan diri ke Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Oleh dokter di sana, saya langsung disarankan menjalani USG dan mamografi. Setelah hasil USG keluar, baik saya maupun dokter sama-sama kaget. Ditemukan tumor berukuran hampir 2 cm di payudara kanan saya.Mendengar vonis ini, lutut saya langsung lemas. Dunia saya serasa runtuh.

Dalam perjalanan pulang, perasaan saya campur aduk membayangkan hari esok yang tak pasti. Bingung, kaget, panik, sedih, semua bercampur jadi satu.Sebenarnya, tubuh saya sudah lama memberi sinyal protes. Tetapi, peringatan itu tak saya indahkan. Saya terus saja happy melanjutkan gaya hidup tidak sehat, misalnya melahap junkfood dan jarang istirahat. Kebetulan, level stres saya sebagai sekretaris di sebuah law firm sedang tinggi. Perpisahan dengan kekasih karena masalah perbedaan agama, ditambah beban pekerjaan kantor yang sedang berat-beratnya, membuat pikiran dan hati makin bergejolak.

Dokter YKI sebenarnya menyarankan saya segera melakukan biopsi untuk menentukan tingkat keganasan tumor saya. Tetapi, saya memilih menenangkan diri dulu. Baru setelah beberapa hari, saya memutuskan mencari second opinion di sebuah rumah sakit di kawasan Jakarta Barat. Rentetan proses seperti di YKI, lagi-lagi saya jalani. Hasilnya ternyata sama.

Dokter di sini bahkan meminta saya membawa keluarga untuk membicarakan proses selanjutnya, baik biopsi maupun kemungkinan-kemungkinan lainnya. Namun, saya bersikeras dokter memberikan penjelasan kondisi saya saat itu juga. Seburuk apa pun penyakit yang menimpa, akan saya terima dengan segala konsekuensinya.

Saya dididik untuk tumbuh menjadi wanita independen. Saya tidak ingin menyusahkan dan tergantung pada siapa pun, termasuk juga keluarga besar. Saya tidak mau menambah beban pikiran Ayah, Mohammad Bawon Soewartono (yang sudah ditinggalkan oleh Ibu), serta 11 kakak saya yang pasti sudah sibuk dengan urusan dan masalah mereka masing-masing. Setelah dibujuk, akhirnya dokter bersedia menjelaskan lebih lanjut tindakan yang harus dilakukan jika nantinya saya terbukti mengidap tumor ganas.

Ternyata, pilihannya hanya dua. Operasi pengangkatan seluruh payudara kanan hingga tak bersisa, atau mengangkat tumornya saja, namun setelah itu saya harus dikemoterapi untuk membabat sel-sel kanker yang menempel di payudara. Efek dari proses kemo, menurut dokter, sebenarnya tergantung pada kekuatan tubuh seseorang. Rambut rontok, kulit kusam, mual dan pusing adalah hal yang lazim terjadi setelah proses kemo. Mendengar penjelasan itu, badan saya langsung menggigil. Ya, Allah, tidakkah ada pilihan lain yang lebih mudah? Namun, saya mencoba menenangkan diri. Siapa tahu, semua hal itu tak perlu saya jalani, bila hasil biopsi saya baik-baik saja.

PENGOBATAN ALTERNATIF YANG GAGAL

Pulang ke rumah, saya memutuskan untuk membicarakan penyakit ini dengan kakak kedua, Kun Ariani Handanawati Soeroso (52), yang saya panggil Mbak Ani. Dia meminta saya untuk tenang, dan mencoba pengobatan alternatif dulu. Dia juga menyarankan, kalau seandainya saya tetap ingin melakukan biopsi, sebaiknya dilakukan di Singapura.

Selama dua bulan saya mengonsumsi jamu yang katanya bisa mengobati kanker. Namun, bukannya kanker saya hilang, malah wajah saya yang awalnya mulus menjadi berjerawat dan sangat perih bila disentuh. Benjolan di payudara yang tadinya tak terasa sakit kini juga menjadi nyeri. Serasa ditusuk ribuan jarum. Ketika tak lagi kuat menanggung sakit, saya meminta Mbak Ani menemani saya berobat ke Singapura .Saya menemui dr. Karen Yap, dokter spesialis kanker payudara di Rumah Sakit Mount Elizabeth.

Setelah diperiksa dengan proses sama seperti di Indonesia, saya memang diwajibkan melakukan biopsi. Duh, ternyata proses biopsi cukup menyakitkan. Air mata tak urung keluar, karena menahan pedih yang tak tertahankan.Hasil biopsi ternyata menunjukkan saya memang positif terkena kanker. Meski kanker saya baru stadium dini, dokter menyarankan agar saya membuat keputusan segera. Tubuh saya rasanya lemas sekali mendengar vonis ini. Untuk pertama kalinya, air mata saya bercucuran.

Dokter Karen menyarankan saya berhenti bekerja bila saya melakukan kemoterapi. Karena, dokter ini mempertimbangkan efek-efek dari kemoterapi. Apalagi kemoterapi itu harus dilakukan secara rutin. Dunia saya bak berhenti berputar. Bagaimana masa depan saya, jika saya berhenti bekerja. Siapa yang akan membayar tagihan-tagihan rumah sakit saya? Sungguh tak sanggup membayangkan kalau saya harus menjadi ’benalu’ untuk keluarga saya. Awalnya, saya memilih menyerah dan mau pulang ke Jakarta. Saya berpikir, bila saya menjalani pola hidup sehat, mungkin saya bisa sembuh.

Namun, seorang sahabat di Singapura, Reka, membuat saya berubah pikiran. Reka bercerita, banyak anggota keluarganya menderita kanker, dan yang survive hanyalah mereka yang mengangkat tumor ganas melalui jalan operasi. Dia meyakinkan supaya saya menjalani operasi pengangkatan payudara. Terlebih, ia melihat saya tipe wanita tough dan punya semangat hidup tinggi. ”Kamu pasti sembuh,” katanya, yakin. Dokter Karen sendiri telah menyatakan, kalau saya serius menjalani pengobatan dan disiplin meminum obat selama 5 tahun, saya bisa sembuh total.

KEMBALI DIEMPASKAN KE TITIK NOL

Saya pun memutuskan untuk operasi pengangkatan payudara yang dilanjutkan operasi rekonstruksi payudara. Alhamdulillah, keluarga saya sangat mendukung keputusan saya. Mbak Ani meminta saya untuk tak usah memikirkan biaya rumah sakit. ”Yang paling penting, kamu bisa sehat,” begitu katanya. Suaminya, Soeroso Soemopawiro (67), juga sangat berjasa dalam proses pengobatan ini. (Mata Dinda langsung berkaca-kaca ketika membicarakan dua pahlawannya ini).

Doa dan perhatian dari ayah, kakak, dan adik saya yang besar juga mendukung kesembuhan saya. Tanggal 20 Desember 2006, saya menjalani dua operasi sekaligus, yaitu operasi pengangkatan payudara kanan, dan langsung dilanjutkan dengan operasi rekonstruksi payudara baru. Operasi ini berlangsung selama 5 jam. Sebelum saya tak sadar diri, saya sempat disuntik pendeteksi kanker.

Ya, Allah, sakitnya minta ampun, mengalahkan derita saat biopsi. Rasanya seperti ditusuk ratusan pisau, hingga saya kesulitan bernapas.Ketika akhirnya tersadar, saya tak henti-hentinya bersyukur. Ternyata, saya masih wanita sempurna. Bentuk payudara baru saya tak banyak berbeda dari yang lama. Pada hari ke-5, saya sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

Ketika keesokan harinya saya datang ke rumah sakit untuk check up, dr. Karen menyambut saya dan kedua kakak saya dengan wajah muram. Dia menyampaikan berita yang membuat saya bak tersambar petir. Ia mengatakan, saya pun positif mengidap kanker getah bening! Saking terkejutnya, saya hanya diam, tak bereaksi. Hanya bisa tercenung. Gairah untuk melanjutkan hari esok yang awalnya sudah terbangun, kembali melorot tajam.Ia menyampaikan, saat saya disuntik pendeteksi kanker, ternyata cairan tersebut juga mengalir menuju kelenjar getah bening. Di sana ditemukan 4 titik yang dicurigai sebagai kanker. Dokter pun mengambil salah satu titik tersebut, untuk menguji, dan ternyata dugaan itu benar adanya.Seminggu pertama setelah pemberitahuan itu, saya merasa bak hidup dalam mimpi buruk yang tak berujung.

Dokter Karen mengharuskan saya melakukan kemoterapi, padahal hal tersebut yang paling saya hindari. Namun, kini kemoterapi adalah jalan satu-satunya bagi saya untuk sembuh. Meski merasa begitu galau, tak pernah sekali pun saya menyalahkan Tuhan atau keadaan yang menimpa saya. Saya menyadari, penyakit ini adalah kesalahan sendiri. Saya justru merasa bersyukur karena Tuhan menegur saat di usia masih muda dan kuat untuk menanggung penyakit. Artinya, Tuhan masih menyayangi dan memberi kesempatan agar saya mengubah pola hidup. Walaupun telah menguatkan diri, di hari pertama kemoterapi, ketakutan tetap menghantui saya. Ketika dikemoterapi selama 4 jam, saya tak melakukan apa-apa, malah saya sempat tertidur. Namun, begitu usai kemoterapi, saya merasa seperti tak mengenal diri sendiri.

Energi saya seperti terkuras. Saya mudah letih, padahal saya tergolong wanita energik. Bahkan, untuk membaca buku atau menonton televisi saja, sudah membuat kepala terus berdenyut-denyut. Saya pun tak berselera makan, karena semua makanan terasa hambar. Ini berlangsung selama berhari-hari.Yang paling menakutkan, mendekati jadwal kemo kedua, setiap kali bangun tidur, saya melihat banyak helaian rambut saya berserakan di kasur. Bulu mata dan alis juga ikut-ikutan habis. Daripada stres melihat helaian rambut itu, saya memilih mencukur habis rambut saya. Padahal, jangankan dibotak, memotong rambut hingga pendek saja saya tak pernah. Awalnya, model rambut baru ini saya bungkus dengan tutup kepala.
Namun, hal ini membuat kulit kepala saya terasa panas, sehingga saya membebaskannya saja. Untungnya, bentuk kepala saya cocok dengan kepala licin. Uniknya, karena selalu tampil percaya diri dan terlihat enjoy, banyak teman yang menyangka, saya berani tampil ekstrem plontos itu bukan karena sakit, melainkan karena ikut tren.

JODOH DI TENGAH KEMOTERAPI

Menderita kanker membuat pria adalah urusan terakhir yang ada di benak saya. Pokoknya, saya harus sembuh dan sehat, itulah fokus saya. Tetapi, siapa sangka, pulang dari kemoterapi pertama, justru menjadi awal hubungan saya dengan Alexander Abimanyu (33). Kami sebelumnya pernah berkenalan. Alex pun pernah beberapa kali mengontak saya lewat friendster dan SMS. Namun, saya tak menggubrisnya, karena kami berbeda keyakinan. Saya sudah tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, yakni menjalin asmara dengan pria berbeda keyakinan.
Namun, melihat kesungguhannya menghubungi saya, akhirnya saya menjawab teleponnya ketika pulang dari Singapura usai kemoterapi pertama. Saya menjelaskan keadaan sebenarnya. Dengan harapan, ia akan menjauh jika mendengarnya. Herannya, dia bukannya menjauh. Dia malah lebih sering menghubungi saya. Malah, di tengah-tengah perjuangan saya mematikan sel kanker lewat kemoterapi, ia mengajak saya untuk berhubungan lebih serius. Sungguh ajakan yang aneh.

Penolakan saya, bahwa menjalin asmara bukan fokus saya, juga tak membuatnya mundur. Ia tetap memperhatikan saya. Lebih mengejutkan lagi, ketika saya menjalani kemoterapi ke-7, Alex malah mengajak saya menikah. Astaga, sungguh pria yang langka. Saat itu kepala saya masih licin dan menjalani perawatan. Di benak saya langsung bermunculan beribu keraguan. Perbedaan keyakinan di antara kami sudah pasti akan menimbulkan masalah pelik. Ditambah dengan kondisi kanker yang saya derita. Apakah orang tua Alex mampu menerima hal ini? Apalagi, Alex adalah anak tunggal.

Orang tuanya pasti mengharapkan ia menikah dengan wanita yang seiman dan sehat.Dengan menikahi saya pun, Alex akan punya kemungkinan mengeluarkan biaya tinggi untuk saya berobat. Dan, kalaupun saya sembuh, tidakkah ia menyadari bahwa risiko kanker ini tetap dan merongrong saya lagi. Sadarkah ia? Banyak sekali argumen yang keluar dari mulut saya. Tetapi, Alex tetap yakin, sayalah wanita yang ingin ia nikahi.Melihat kemauan Alex yang keras, dan fakta bahwa kami berdua memang klop dan saling mencintai, akhirnya kami memutuskan jalan terus.
Meski begitu, saya meminta menunda dulu pembicaraan soal pernikahan hingga kondisi saya benar-benar pulih. Alex membuktikan kesetiaannya. Selama 21 kali proses bolak-balik ke rumah sakit untuk kemoterapi, Alex tetap setia mendampingi. Yang lebih membahagiakan, orang tua Alex juga bisa menerima penyakit saya dan kondisi kami yang tak seiman. Tanggal 19 Agustus 2007, akhirnya Alex melamar saya secara resmi kepada ayah saya.

Namun, Ayah tak sempat menyaksikan saya menikah. Karena, sebelum hari kebahagiaan kami tiba, pada tanggal 8 Januari 2008, di Hong Kong, Ayah berpulang kepada Yang Kuasa. Di balik proses penyembuhan kanker yang menyakitkan ini, siapa sangka saya menemukan karier baru. Ini bermula dari nasihat seorang terapis saat saya dikemoterapi. Menurutnya, agar semangat saya terangkat, saya perlu melakukan sesuatu yang membuat saya happy. Karena menyukai make up dan sesekali juga membantu menata rias, saya memutuskan mempelajarinya lebih serius di salah satu sekolah kecantikan.
Ternyata, bermodal pendidikan dari sekolah ini, karier saya sebagai make up artist pun dimulai. Di akhir pekan, sesekali saya menjadi make up artist untuk keperluan pemotretan. Di hari kerja, saya tetap menjadi sekretaris di sebuah perusahaan perminyakan. Tetapi, pekerjaan di sini tidak sesibuk seperti waktu saya di kantor pengacara. Kini, saya sudah dinyatakan sembuh total. Saya tetap rajin minum obat, untuk membunuh sel-sel kanker yang bisa datang kapan saja. Setiap 3 bulan, saya juga cek darah, dan 6 bulan sekali cek darah khusus kanker.

Riwayat kanker membuat saya harus waspada. Saya pun harus selalu menjalankan pola hidup sehat. Yang paling penting, saya tetap berpikiran positif. stres dan pikiran negatif justru membuat sel kanker ini merajalela.

No comments:

Post a Comment