By Sieben,
Jumat, 15 Juli 2011
Di Jumat pagi, tiba-tiba ada petugas di apartment gue yang mengantar sepucuk surat. Sambil mengucapkan terima kasih, gue baca bagian depan amplop surat itu, tertulis nama lengkap gue, Raka Aditya. Tulisan tangan di amplop tersebut adalah tulisan papa yang gue kenal banget, tulisan miring gaya jaman dulu dan hampir mirip dengan tulisan teks proklamasi nya Bapak Soekarno. Begitu gue balik amplop nya dan benar tertulis nama pengirim nya adalah nama papa.
Sambil duduk di sofa ruang utama, gue buka surat itu, hanya satu lembar kertas dan isi nya singkat saja, papa hanya minta gue pulang karena dia mau bertemu.
Gue harus cerita sedikit tentang gue, sudah hampir 5 tahun gue meninggalkan kota Bandung dan tinggal di Surabaya. Gue bekerja sebagai Finance Consultant di salah satu lembaga keuangan. Selama 5 tahun ini gue memberanikan diri untuk meninggalkan kota Bandung karena ketidakcocokan gue sama papa. Papa orang nya sangat keras dan perbedaan pendapat antara gue dan papa yang akhirnya membuat gue meninggalkan rumah saat selesai kuliah. Mama sudah tiada sejak 4 tahun lalu, karena faktor kesehatan dan mungkin akibat dari ribut nya gue dan papa. Adik gue masih tinggal bersama papa saat ini dan menemani papa.
Perbedaan pendapat antara gue dan papa sebenarnya karena papa ingin gue sebagai anak tertua untuk meneruskan usaha papa di rental mobil nya, namun semenjak awak kuliah gue sama sekali tidak tertarik untuk terjun ke usaha papa. Akhirnya karena perbedaan pendapat itu, gue memilih kerja di background yang sesuai kuliah gue dan pindah ke kota lain.
Singkat cerita, papa mengharapkan agar gue bisa datang hari Sabtu besok. Ragu sekali gue untuk datang, terlebih sudah 5 tahun tidak pernah berkomunikasi dengan papa. “Apa ya yang papa ingin bicarakan ke gue?”
Baru aja mau siap-siap mandi untuk berangkat ke kantor terdengar pesan di bb gue masuk, adik gue Raisa menuliskan pesan kalau bisa Sabtu besok ke Jakarta karena papa mau ketemu. Langsung gue balas, “memang nya ada apa”? agak lama menunggu balasan Raisa, akhirnya gue mandi dan bersiap-siap.
Setelah sudah menuju kantor, baru gue buka lagi pesan di bb gue, Raisa hanya bilang, “papa sedang sakit keras dan sudah 3 minggu di rumah sakit”, kaget sekali gue mendengarnya, memang selama 5 tahun ini gue mohon bicara dengan papa, setiap telpon atau sms papa tidak pernah gue respon. Akhirnya gue balas ke Raisa, “ok, besok akan ke Bandung dengan pesawat jam 8 pagi”. Raisa membalas dengan memberitahukan nama rumah sakit, nama dan nomor kamar tempat papa di rawat.
Sabtu, 16 Juli 2011
Jam 12 tepat gue sudah berada di depan rumah sakit di area Pasteur, untungnya penerbangan tidak mengalami delay dan perjalanan dengan mobil travel lancar selama di Tol Cipularang. Antara ragu harus masuk ke rumah sakit dan tidak tapi akhirnya gue memilih tetap masuk ke pintu gerbang yang memiliki ornamen-ornamen gedung Belanda. Bangunan tua yang kurang terawat namun masih merupakan rumah sakit yang banyak dikunjungi oleh masyarakat.
Sedikit sekali petugas rumah sakit di hari Sabtu ini, selain itu juga bertepatan dengan jam makan siang karyawan dan waktu besuk pasien. Jadi lebih banyak keluarga pasien yang hilir mudik di hall dan lorong rumah sakit dibandingkan petugasnya.
Minimnya petunjuk arah nama dan nomor kamar pasien, membuat gue sedikit bingung, mau nanya juga gak ada petugas yang terlihat. Akhirnya gue sampai ke lorong rumah sakit yang agak lebih sedikit pengunjung pasien nya, sambil berjalan gue melihat ke kiri dan ke kanan untuk melihat nama dan nomor kamar.
Sesampai nya di ujung lorong, terdapat kamar di sebelah kiri yang kebetulan pintu nya terbuka, karena terbuka maka gue kesulitan untuk liat nomor kamarnya sehingga gue perlu mendekatkan diri ke arah pintu.
Saat sudah berdiri di depan pintu, gue liat nomor kamarnya berbeda dengan nomor kamar papa dan baru saja gue berbalik badan untuk meninggalkan kamar tersebut tiba-tiba terdengar suara panggilan dari arah dalam kamar, suara pria tua bercampur dengan batuknya, “Siapakah itu? masuk saja langsung ke dalam”.
Akhirnya gue masuk dan berdiri di depan pria tua yang telah memanggil gue. Itu bukan wajah papa, bukan badan papa. “wah salah kamar nih gue”, pikir gue dalam hati. Namun pria tua itu mempersilahkan gue duduk di sampaing tempat tidurnya. “Terima kasih sudah mau datang”, kata nya.
Ini sangat aneh, karena gue gak kenal pria tua ini dan saat itu gue langsung merasa kasihan dengan kondisinya, terdapat 1 botol infus dan 1 botol cairan merah yang disambungkan ke lengan kanan dan kirinya. Terdapat penopang pada bagian belakang kepalanya mungkin dikarenakan lama nya proses perawatan sehingga penopang ini dipasang. Mata nya tertutup dan hanya mulutnya saja yang lancar berbicara.
Pria tua ini berbicara mengenai sudah lama menunggu kedatangan anaknya, berbicara mengenai keluarganya yang sudah tidak mau menjenguknya dikarenakan sakit yang berkepanjangan dan beban biaya yang meningkat mahal. Pria tua ini bilang kalau sudah hampir 2 bulan berada di rumah sakit dan penyakitnya tak kunjung sembuh, putus asa rasanya mengalami sakit ini dan tidak adanya dukungandari keluarga. Satu-satunya yang dia harapkan datang adalah anak nya yang sudah berjanji akan datang namun belum terlihat sampai hari ini.
Hampir 2 jam gue hanya duduk di samping tempat tidur pria tua ini dengan menjawab , “iya dan iya begitu seterusnya”. Sepertinya pria tua ini senang sekali dapat meceritakan semua kisah hidupnya, kisah sakit nya, kisah cinta nya dengan keluarga dan kisah tidak sakit hati dengan keluarga nya yang menghindar saat penyakit nya lama dan tak kunjung sembuh.
Pria tua ini bercerita, bahwa tadi malam dia berdoa terus menerus kepada Tuhan agar membukakan jalan ke anak nya sehingga bisa datang hari ini. Pria tua ini juga bilang, dia berdoa sampai pagi agar diberikan jalan yang terbaik untuk dapat meringankan beban keluarga dari penyakitnya ini.
Tak terasa ada setetes air mata yang keluar dari mata gue mendengarkan cerita pria tua ini, tak terasa gue seperti dapat masuk dan ikut dalam cerita nya, dalam penderitaan nya dan dalam keikhlasan di doa-doa nya. Lama gue terdiam menahan tetesan air mata yang berikut agar tidak diketahui oleh pria tua ini. Namun sepertinya pria tua ini mendengar juga kesedihan gue dan bilang, “Terima kasih kamu mau datang dan mendengarkan saya, doa saya semalam telah dikabulkan oleh Tuhan, Tuhan telah mengirimkan seorang yang baik sebagai penganti kehadiran anak saya, semoga Tuhan membalaskan kebaikan kamu”. Gue hanya bisa bilang iya lagi dan terdiam karena tidak tahu harus berespon seperti apa dengan pria tua ini.
Keheningan di kamar ini akhirnya terpecahkan dengan masuknya seorang perawat ke kamar, rupa nya dia agak terlambat untuk mencek ke kamar-kamar pasien. “maaf mas, hari ini kebetulan yang bertugas hanya 3 orang untuk di area ini sehingga saya baru bisa ke kamar ini, sebentar saya cek Ayahanda mas ya”.
Sambil duduk, gue memperhatikan perawat tersebut merapikan peralatan infus dan tabung yang satunya lagi. Dengan gerakan sigap dan cekatan dia melakukan pemeriksaan denyut jantung dan mata pria tua itu, sepertinya dia sedang memastikan tanda-tanda kehidupan pria tua itu.
“Halo Dokter, pasien kamar 127 telah meninggal semua pengecekan telah saya lakukan dan denyut jantung nya telah berhenti, saya akan segera melakukan prosedur selanjutnya”, begitulah dia menyampaikan informasi melalui telepon di kamar ke Dokter jaga.
Lalu suster ini berbicara, “Mas, ayo ikut saya untuk menandatangani dokumen laporan ke Dokter jaga ya”, lalu gue menjelaskan kalau gue bukan anggota keluarga pria tua ini, kebetulan saja gue salah masuk kamar, lalu gue tunjukan catatan kecil pada kertas, nama dan nomor kamar papa. “oke kalau begitu, Mas keluar kamar langsung belok kiri dan kiri lagi karena kamarnya berada di balik kamar ini”, begitu penjelasan si suster.
Sambil megucapkan terima kasih, gue lalu bergegas bahkan tanpa gue sadari gue mendapatkan diri gue berlari, lari yang sangat kencang seperti tidak ingin kehilangan waktu untuk menemukan kamar papa, melihat papa yang telah terbaring selama 3 minggu dan minta maaf ke papa atas kesalahan gue.
Sesampainya di kamar papa, hanya adik gue Raisa yang ada dan kaget melihat gue datang berlari dan langsung berdiri di depan tempat tidur papa, mencium kening papa, mencium pipi kanan dan kiri papa, sambil memegang tangan kanan papa, gue cium tangan tersebut dan meminta maaf atas kesalahan gue, papa hanya tersenyum dan bilang, “papa juga minta maaf sama Raka ya”. Sejuk rasanya mendengarkan kata-kata papa, senang mendengarkan kata-kata papa setelah 5 tahun ini.
Minggu Siang, 17 Juli 2011
Siang ini gue berada di pemakaman papa bersama Raisa dan keluarga dekat. Papa telah meninggal semalam. Raisa bilang, “wajah papa tidak pernah seceria ini, senyum nya masih ada sampai saat dimasukan kedalam kuburnya, papa sengaja menunggu Kaka pulang dan baru bisa pulang menemui mama”. Mata gue bersimbah air mata, sedih sekali dalam 3 hari ini mengalami hal seperti ini, namun ada kebahagian yang masih ada di dalam hati gue, masih sempat bertemu papa dan minta maaf.
Terima kasih Tuhan telah dipertemukan dengan pria tua sehingga rasa berkecamuk di hati, rasa ego pada diri gue langsung luluh dan berkesempatan untuk menghabiskan waktu bersama papa semalam.
Rabu, 17 Agustus 2011
Satu bulan sejak meninggal nya papa, gue sudah tinggal di Bandung bersama Raisa dan melanjutkan usaha rental papa. Gue berjanji akan menjalankan usaha ini terus agar selalu ingat dengan papa dan mama
No comments:
Post a Comment